Oleh: Hadi Susiono Panduk
Alumnus Pondok Pesantren Sabilillah, Al-Khoirot-Al-Ma’ruf, MA Nahdlatul Muslimin Kudus Grobogan-Malang dan Jurusan Linguistik Sastra Inggris Universitas Diponegoro Semarang serta Wakil Rais Syuriyah MWC NU Bayah, Lebak Banten.
Dunia media sosial (medsos) sebut saja Twitter, Instagram, Facebook atau aplikasi ‘yang diakuisisinya’ WhatsApp, tak jarang berisikan nyinyiran dari membernya. Nyinyir?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring, “nyinyir diartikan ‘mengulang-ulang perintah atau permintaan, nyenyeh, cerewet’.
Dalam kamus tersebut dicontohkan, "Nenekku kadang-kadang nyinyir, bosan aku mendengarnya.” Jadi, kata nyinyir berasosiasi negatif.
Dalam pergumulan sosial, nyinyir sudah merambah dan menjadi virus dalam ruang-ruang komunikasi publik, dan pelakunya bervariasi, dari para pemuka hingga mereka yang menjadi follower. Bahan nyinyirannya juga variatif bahkan terkadang dadakan, semacam tahu bulat yang terkenal itu.
Misalnya, nyinyiran politik yang diucapkan lawan politik, nyinyiran bawahan kepada atasan, nyinyiran dalam pertemanan, ada juga lho, nyinyiran dalam perdakwahan. Yaah. Begitulah adanya.
Fenomena nyinyir sebetulnya berasal dari ketidakpuasan, kedengkian, atau faktor ketidaksukaan, dislike atas sesuatu hal. Dengan nyinyir, pelakunya merasa tersalurkan kejengkelannya, atau bahkan rasa dendamnya, meskipun biasanya konstruksi kalimat yang terdapat pada nyinyiran tidak berimplikasi secara luas bagi pihak yang menjadi objek penderita nyinyir.
Beda halnya dengan hoaks atau sindiran pedas dengan diksi kata yang jelas, tidak bias dan menohok. Dengan istilah lain, nyinyir ini bisa diartikan hit and run, dalam dunia tinju. Pihak yang nyinyir ‘memukul’ pihak lain dan kemudian ‘lari.’ Begitulah pola seterusnya.
Setiap dari kita yang berhubungan dengan media sosial pasti pernah nyinyir, tergantung levelnya; ringan, sedang, ataupun akut. Sejatinya, kita bisa mengubah nyinyiran itu menjadi kritikan yang bersifat konstruktif-solutif, tapi syaratnya sangat berat, yakni mengeliminasi sikap like-dislike yang membutakan kita dalam melihat sebuah fenomena.
Artikel Terkait
Jelang Ramadhan, Tadarus Alquran dan Tarawih Dilarang Pakai Pengeras Suara, Peraturan Menag Nomor 5/2022
Menag Yaqut Cholil Qoumas Tuai Hujatan Warganet, Ibaratkan Suara Toa Masjid dengan Gonggongan Anjing!
Rektor UIN Banten: Menag Tidak Bandingkan Suara Azan dengan Gonggongan Anjing
Ini Kronologi Laporan Roy Suryo Terhadap Menag Yaqut Cholil Qoumas Ditolak
Beragam Tanggapan Non Muslim Tentang Pernyataan Menag Yaqut Cholil Qoumas Terkait Toa Masjid